MAKALAH Polemik Penetapan Omnibus Law

 

BAB 1

PENDAHULAN

 

 

 

1.1              Latar Belakang

 

Banyaknya aturan yang tumpang tindih, dan juga iklim investasi yang sangat dibutuhkan agar tumbuh secara signifikan dalam persaingan dengan dunia global, tentu untuk mengatur tersebut diperlukan suatu aturan yang dapat menampung banyaknya aturan yang ada di Indonesia.

Semenjak Indonesia merdeka pada tahun 1945, Pemerintah (eksekutif dan legislatif) memproduksi peraturan perundang-undangan untuk mengatur masyarakat baik dalam bentuk regeling (peraturan) dan beschikking (keputusan). Banyaknya aturan yang tumpang tindih itu kemudian banyak yang diajukan judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

 Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, banyak UU diajukan ke MK karena dianggap bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dan memang betul kiranya bahwasanya peraturan tersebut juga oleh Mahkamah Konstitusi di batalkan dan dianggap bertentangan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia.

1.2              Tujuan

 

Mengetahui maksud dibentuknya UU CIPTA KERJA/OMNIBUS LAW dan dapat menyimpulkan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Dalam menganalisis RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja atau sering disebut dengan RUU Cilaka ini ada beberapa hal menarik yang perlu didiskusikan bersama.

A.                Adanya Sentralisasi Perizinan yang berdampak pada Desentralisasi/ Otonomi Daerah.

RUU Cilaka ini akan membuat tidak diberlakukan lagi pasal terkait dengan kewenangan daerah di UU Induknya. Kewenangan yang tercantum dalam pasal tersebut akan dibalikkan kepada Pemerintah Pusat. Pengaturan tersebut dalam Politik Hukum bisa dengan banyak cara, seperti halnya bisa dibentuk dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Presiden, dan peraturan lain yang menyangkut tentang kewenangan Pemerintah Pusat. Padahal secara praktis sumber daya Pemerintah Pusat dalam mengatur secara kompleks pemerintah daerah masih minim, terlebih lagi setelah adanya penerapan otonomi daerah.

Maknanya dengan adanya pengambilan wewenang dari daerah ke pusat akan mengakibatkan pelemahan dari sisi pemerintah daerah. Dampak yang jelas terasa adalah adanya pelemahan yang dirasa oleh pemerintah daerah. Sebut saja tentang perubahan terhadap proses AMDAL yang sudah diketahui bersama bahwa itu merupakan pembagian kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota.

Dalam RUU Omnibus Law Cilaka tersebut kewenangan mengenai proses AMDAL akan menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat , hal itu tertuang dalam Pasal 23 angka 4 RUU Cipta Lapangan Kerja a quo, yang merupakan bentuk perubahan dari Pasal 63 UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Proses Izin

            RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja membuat sederhana perihal perizinan yaitu dengan proses pengurusan yang relatif singkat, prosedur yang terlalu rumit serta biaya yang bisa dibilang murah. Penyederhanaan ini tentu sangat mendukung iklim investasi yang mengharus segala hal harus bergerak cepat mengikuti perubahan zaman. Penyederhanaan yang penulis maksud seperti berikut Pertama, Pendirian bangunan, RUU Cilaka akan menghapus segala persyaratan administratif yang tercakup dalam persyaratan status hak atas tanah, status hak milik bangunan gedung serta izin mendirikan banguan (IMB). Persyaratan tersebut diubah dengan keharusan bagi setiap bangunan gedung untuk memenuhi standar teknis bangunan agar menyerupai fungsi dan klasifikasi bangunan. Kedua, Perizinan untuk Kegiatan Investasi dan berusaha, dalam RUU Omnibus Law Cilaka juga memanage tentang Perizinan Berbasis Resiko. Model perizinan seperti ini mengharuskan klasifikasi usaha yang syarat perizinannya akan mengadaptasi dengan resiko dari usaha tersebut. Penilaian resiko ditinjau dari aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan atau pemanfaatan sumber daya, dilakukan dengan mengkalkulasikan jenis aktivitas usaha, dan/ atau keterbatasan sumber daya. Sesuai dengan amanah pasal 8 Ayat (7) RUU Cilaka, kegiatan usaha beresiko tinggi memerlukan Izin mendirikan bangunan. Hal tersebut (izin) merupakan persetujuan Pemerintah Pusat agar melakukan aktivitas usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum usaha tersebut dijalankan atau dikembangkan.

Dampak

Dampak dari aturan pemerintah mengenai Perizinan Berusaha berbasis resiko adalah Pemerintah harus menyusu klasifikasi yang clear tentang jenis usaha dan jenis izin yang akan diterapkan. Aturan mengenai perizinan berusaha ini harus diatur dalam peraturan pelaksanaannya di dalam Peraturan Pemerintah.

B.       Bidang Ketenagakerjaan

 RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini lebih memiliki kecenderungan dalam peningkatan perekonomian, dan kurang memperdulikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pasal 88 RUU Omnibus Law Cilaka menyatakan bahwa pengaturan yang terupdate yang ada dalam RUU ini bertujuan untuk menguatkan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan kepada tenaga kerja dalam mendukung dunia investasi di Indonesia. Hal tersebut dapat dipetik bahwa RUU Cilaka ini lebih mengedepankan investasi seta pembangunan ekonomi merupakan hal paling penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kebanyakan peraturan yang sudah di ubah dan diatur dalam RUU ini acapkali menyebutkan efisiensi dan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Padahal dalam membicara produktifitas tenaga kerja itu yang terpenting adalah pelatihan dan training. Karena dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, apabila berbicara peningkatan produktifitas pekerja Indonesia itu harus disertai pelatihan dan training yang intens. Pelatihan yang intens akan membentuk pekerja semakin kreatif dan produktif dalam bidang pekerjaannya.

Tenaga kerja asing mulai menyerbu masuk di lingkungan kerja wilayah Indonesia. Perusahaan mengambil tenaga kerja asing dengan alasan karena pekerja asing memiliki kompetensi yang tidak dimiliki oleh pekerja Indonesia. Maknanya RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga harus berfokus untuk meningkatkan produktifitas pekerja Indonesia. Dengan fokus pada peningkatan produktifitas pekerja Indonesia maka ada atau tidak ada omnibus law, maka pekerja Indonesia akan sejahtera. Karena dasar filosofis adanya peraturan adalah untuk mensejahterakan masyarakat.

Perubahan mengenai Upah Minimum

Setiap 1 Mei selalu dilaksanakan hari buruh, yang mana pada tanggal tersebut dimanfaatkan oleh para buruh untuk melampiaskan unek-uneknya, dan yang sering menjadi tuntutan adalah upah minimum.

Dalam UU Ketenagakerjaan mengenai upah minimum dapat dilihat dari wilayah provinsi dengan upah minimum provinsi (UMP) dan Upah minimum kabupaten/kota (UMK). Maka dengan adanya RUU Cilaka ini hal tersebut (UMK dan UMP) tidak akan berlaku lagi. RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja menyatakan bahwa pasal 88C yakni: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Dari pasal 88C ayat (1) dan (2) dapat kita tafsiri bahwa bilamana RUU Cipta Lapangan Kerja ini goal di DPR, maka tidak akan ada lagi yang namanya Upah Minimum Kabupaten/ Kota, karena yang berlaku adalah Upah Minimum Provinsi. Padahal yang kita ketahui saat ini Upah Minimum Kabupaten/ Kota lebih tinggi dari pada upah minimum provinsi. Pertanyaannya seberapa urgenkah penghapusan UMK itu dalam RUU Cilaka?

Perubahan makna Pemutusan Hubungan Kerja

Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja namun dalam RUU Cilaka ada sedikit perubahan tentang penafsiran dari PHK. Perubahan ini yakni menghilangkan konsepsi awal mengenai PHK dalam UU Ketenagakerjaan yang harus dilihat sebagai sesuatu yang harus dijauhi. Rumusan Pasal 151 Ayat (1) pada RUU Omnibus Law Cilaka. PHK merupakan hal yang cukup privasi antara pengusaha dan pekerja/ buruh. Di tambah lagi saat serikat buruh mempunyai peran krusial bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja dalam menjembatani pengusaha dan buruh, mediasi yang dilakukan oleh serikat pekerja ini menjadi cara penyelesaian sengketa akan tercipta win-win solution. Namun dalam RUU Cilaka pasal 151 ayat (2) merubah konsep PHK, yakni penyelesaian Pemutusan Hubungan kerja melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial.

C.           Kaitan RUU Cipta Lapangan Kerja dengan Administrasi Pemerintahah

Kewenangan Presiden

Dalam RUU Cilaka pasal 164 pada dasarnya memang benar bilamana kewenangan yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan itu merupakan kewenangan Presiden.10 Dalam doktrin hukum tata negara yang menganut asas sistem Presidensial, maka pengaturan tersebut menarik untuk difikirkan. Masalahnya setelah adanya reformasi ada konsep pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Yang mana peraturan-peraturan daerah, seperti perda, perbup itu diatur oleh daerah masing-masing. Maknanya presiden tidak bisa mengatur secara menyeluruh peraturan di daerah. Cuma dalam asas hierarki peraturan perundang-undangan, mengharuskan peraturan dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.11 Problem yang muncul bilamana penerapan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini adalah penghapusan Perda-perda di daerah, atau perda tersebut dicabut secara otomatis oleh Pemerintah Pusat. Padahal dalam paham pengujian peraturan perundang-undangan harus melakukan judicial review, executive review ataupun legislatif review.

 

Pengaturan mengenai Diskresi

Diskresi atau discretion dan yang lebih dikenal dengan freis ermessen merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang diakibatkan adanya force majeur sesuatu yang mendesak di perlukan kebijakan politik hukum segera mungkin. Pasal 165 RUU Cilaka mengubah beberapa ketentuan pada UU Administrasi Pemerintahan. Pada satu sisi, pasal ini mempermudah dalam menggunakan diskresi. Diskresi itu dimaknai sebagai salah satu cara yang memberikan ruang gerak bagi pejabat tata usaha negara atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan suatu tindakan pemerintah, tanpa harus harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.

Makna dari Otonomi Daerah

Pada Pasal 166-167 RUU Cipta Lapangan Kerja ini merupakan pasal yang bisa disamakan dengan UU sapu jagat, yang mengatur banyaknya UU diatur dalam satu UU dan itu tidak mudah dalam kontrol dan pelaksaannya. Terlebih lagi bagi pemerintah daerah, karena rezim sentralisasi yang pernah kita terapakan sudah berubah dengan konsep otonomi daerah (dekonsentrasi). Pembagian kekuasaan pusat dan daerah dalam pelaksaan RUU Cilaka ini menjadi point yang perlu untuk di tata lebih jauh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Berdasarkan pendapat yang penulis sampaikan diatas, kami menyimpulkn beberapa hal. Pertama, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja memiliki beberapa koreksi yang lebih dalam khususnya dalam aspek paradigma serta substansi pengaturan mengenai PHK, Izin, serta Otonomi Daerah (Desentralisasi)

Kedua, niatan adanya RUU Omnibus Law Cilaka yakni untuk mengurangi adanya hyper regulation (banyaknya peraturan perundang-undangan), namun dalam RUU malah menciptakan aturan turunan yang membuat semakin banyaknya aturan baru yang dimunculkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Basuki Kurniawan, Persamaan Hak Pilih TNI Polri dalam Pemilihan Umum di Indonesia, Tesis, (Jember: Universitas Jember

BPHN, Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja, 2020

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

RUU Cipta Lapangan Kerja

Undang-Undang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

UUD NRI Tahun 1945

Komentar