Makalah Ilmu Kealaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Ilmu pengetahuan memang
berkembang begitu cepat. Hal ini dimungkinkan, karena ia mengibaskan cara orang
mengusahakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam
pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang
tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam
kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering
berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral
dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum dalam lingkup
ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal
tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian
dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang
apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa
Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru
jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata
lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris
terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan
preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan
yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan
ketertiban masyarakat.
Pengertian pertama
dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa
Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa
Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di
sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz,
sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam
bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat
oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi. Lagu ternyata berada
dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science
akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi
ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Demi menghindari hal
semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut
sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata
Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan
atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Dapat
dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi
pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala
sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4]. Disini dapat dilihat bahwa
ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat
berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan
yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu
hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu
kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum
(jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis
dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma,
hak-hak dan kewajiban.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan manusia modern
2. Untuk
mengetahui perkembangan ilmu hukum dalam
bidang ilmu hukum
1.3 Manfaat
1. Mengetahui perkembangan manusia modern
2. Mengetahui perkembangan ilmu hukum dalam bidang
ilmu hukum
BAB II
TINAJAUAN
PUSTAKA
1.2 Perkembangan Manusia Modern
Modernisasi
dalam kajian ini ditandai oleh perubahan-perubahan besar dibidang sosial,
politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut dari
konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa
ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis
faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain.
Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya menyangkut perubahan- perubahan
institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada
manusia. Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik distansi, individuasi,
progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang menandai manusia
modern (Budi Hardiman, 2003).
Dari
batasan-batasan yang ada diatas , maka yang dimaksud dengan Pandangan
Al-Ghazali Dan Emile Durkheim Tentang Pendidikan Moral Dalam Masyarakat Modern
dalam skripsi ini adalah sebagai pemikiran yang mendasar dan
sistematis dari Al-Ghazali maupun Emile
Durkheim berkaitan dengan upaya membantu peserta didik memahami esensi dan arti
penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan
nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata ditengah kehidupan masyarakat modern
yang ditandai oleh adanya modernisasi, yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan
ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya
pergerakan menuju progress (Budi Hardiman, 2003).
Masyarakat modern
adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya
yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat
modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota.
Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat dan istiadat lama. Karena
mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Pada masyarakat modern
secara keseluruhan sudah hampir meninggalkan budaya-budaya lama dan menumbuhkan
budaya-budaya baru seiring berjalannya waktu.
Perubahan-perubahan itu
terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan luar yang membawa kemajuan
terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mencapai kemajuan
tersebut masyarakat modern berusaha agar mereka mempunyai pendidikan yang cukup
tinggi dan berusaha agar mereka selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang
dengan kemajuan di bidang lainnya, seperti ekonomi politik hukum dan
sebagainya.
Bagi negar-negara
sedang berkembang, pada umumnya masyarakat modern ini disebut jugga masyarakat
perkotaan atau masyarakat kota. Pengertian kota secara sosiologi terletak pada
sifat dan ciri kehidupannya dan bukan ditentukan oleh menetapnya sejumlah
penduduk di suatu wilayah perkotaan.
Dari
pengertian di atas, dapat diartikan bahwa tidak semua warga masyarakat kota
dapat disebut masyarakat modern, sebab banyak orang kota yang tidak mempunyai
orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan peradaban dunia masa kini,
misalnya gelandangan atau orang tidak jelas pekerjaannya.
Ciri-Ciri
Masyarakat Modern
Ciri-ciri masyarakat
modern dapat kita temui pada masyarakat yang merupakan pendorong munculnya
moderenisasi. Seperti perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan teknologi,
hampir berkembang secara dinamis di perkotaan.
Dan tidak menutup
kemungkinan ciri-ciri masyarakat modern juga terdapat di desa-desa. Siapapun
yang selaras dengan semangat moderenisasi pasti akan memiliki ciri-ciri
masyarakat modern.
Ciri-ciri masyarakat
modern :
1. Masyarakat modern adalah masyarakat yang
secara keseluruhan hampir meninggalkan kebudayaan lama dan menciptakan budaya
baru.
2. Pembagian kerja sudah terspesialisasi
dengan jelas
3. Mempunyai sarana komunikasi dan
telekomunikasi yang lengkap.
4. Dalam masyarakat modern, tindakan sosial
diambil berdasarkan pilihan, bukan berdasar kebiasaan atau tradisi.
5. Masyarakat modern selalu mengalami
perubahan-perubahan secara cepat karena kualitas permasalahan yang dihadapi
cenderung kompleks sehingga masyarakat modern terus berupaya menyesuaikan diri.
6. Pada masyarakat modern, sistem pembagian
kerja bersifat individualistik karena masyarakat modern cenderung mementingkan
diri sendiri. Dan juga terdapat spesialisasi dari variasi pekerjaan dan
terpisah dari pengaruh struktur sosial lainnya.
7. Masyarakat modern sangat memprioritaskan
pendidikan, karena bagi mereka pendidikan merupakan bekal untuk masa depan yang
lebih baik.
8. Pada masyarakat modern lebih cenderung
menggunakan norma atau aturan sebagai pedoman berperilaku.
9. Pola hubungan sosial kurang terlaksana
dengan baik karena masyarakat yang individualistic.
10. Hukum yang digunakan adalah hukum tertulis
formal daripada nilai-nilai normatif dari masyarakat.
11. Kehidupan keagamaan lebih longgar.
12. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi
pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.
Adapun menurut Talcott
Parson, ciri-ciri masyarakat modern adalah :
1.
Netralitas Efektif, memperlihatkan sikap netral, mulai sikap acuh tak
acuh sampai tidak memperdulikan jika menurut pendapatnya tidak ada sangkut
pautnya dengan kepentingan pribadinya. Artinya sangat mementingkan kepentingan
pribadi atas dirinya. Bahkan tidak memperdulikan sama sekali dengan keadaan sekitarnya.
2.
Orientasi Diri, menonjolkan kepentingan pribadi dan tidak segan-segan
menentang jika dirasa tidak cocok atau dirasakan melanggar kepentingannya.
Hanya ingin mengedepankan kepentinngan pribadinya saja. Artinya tidak ada kata
hidup besama.
3.
Universalisme, berpikir objektif, menerima segala sesuatu secara
objektif.
4.
Prestasi, suka mengejar prestasi, karena prestasi mendorong orang terus
maju. Berlomba-lomba untuk menjadi yang nomor satu dan menjadi yang terbaik
dari yang baik.
5. Spesifitas, menunjukkan sesuatu yang jelas
dan tegas dalam hubungan antara pribadi, maksudnya niat dinyatakan secara
langsung ( to the point). Tidak bertele-tele dalam menyampaikan apa yang ingin
disampaikan.
Dinamika
Kehidupan Masyarakat Modern
Pada kehidupan
masyarakat modern, bekerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga
mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya,
dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres
dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan
dan pola kerja.
Masyarakat modern
cenderung memilih hal-hal yang serba instan dan serba cepat, dikarenakan
tuntutan pekerjaan yang di kejar waktu dan saking sibuknya dengan dunia
pekerjaan. Contohnya dalam hal makanan, masyarakat modern lebih sering
mengkonsumsi makanan instan untuk mempersingkat waktu penyediaannya, seperti
makanan kaleng atau mie instan. Sedangkan belum tentu makanan instan tadi bisa
menjamin keehatannya. Alhasil, masyarakat modern mudah jenuh, stres, dan
menimbulkan penyakit-penyakit baru.
Pola hubungan sosial dalam masyarakat
modern kurang terlaksana dengan baik dikarenakan masyarakat modern ini sendiri lebih
mementingkan kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan kurangnya sifat
kekeluargaan dan sifat gotong royong dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam hal IPTEK,
masyarakat modern memang bisa dikatakan lebih unggul dikarenakan mengikuti arah
peradaban yang kian maju.akan tetapi, seringkali hal ini disalahgunakan sebagai
contoh internet. Internet yang semestinya digunakan untuk hal-hal yang positif,
malah lebih sering digunakan untuk hal-hal yang negatif. Hal ini menimbulkan
budaya yang tidak baik. Contohnya, seseorang yang dengan sengaja meng-upload
video atau foto
Kebiasaan dari
masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan
nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan
pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah. Masyarakat modern lama
kelamaan akan menganut sistem ideologi modern yang biasanya disebut dengan
Liberalisme. Liberalisme muncul bersamaan dengan modereniasi dan segala
pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain daripada pertentangan
dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas tak kurang daripada
cerita tentang liberalisme dan para lawannya. Dalam arti ini, liberalisme
sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme kekuasaan. Ekonomi tidak
dapat tumbuh jika terus diintervensi
Negara, maka
liberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang
tidak bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan.
Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang
melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan
untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai
persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh
liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam
Negara modern. Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu
intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh
mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian
intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah masyarakat untuk
toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pada the problem of justice
dan tidak mengintervensi the problem of good life yang adalah kewenangan
kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama
kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal
berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan ini justru
mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai
hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada
sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni
ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki respek
terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia bersikap netral
dari agama, namun memberi infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk
berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warganegaranya.
Kebudayaan
Masyarakat Modern
1.
Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara
Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis
Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan
Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu
sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat,
misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan
sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula
penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan
pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi,
melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan
teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan
angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir
semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern
dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu
kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau
tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang
Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam
Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau
memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka
masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat
instumental.
2.
Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu
dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan.
Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya
mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya
hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan
lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan
Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang
dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga
berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan
modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat
terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan
batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi,
bahwa asal orang engan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern.
Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap
identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin
membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa
kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri
sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan,
blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah
Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin
menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern
Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan
tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan
karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap
gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
3.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita
samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk
Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci
vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas
kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol,
Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan
khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola,
kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan
kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern.
Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya
tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah
keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya
(Suseno; 1992).
2.2 Perkembangan Ilmu Hukum Dalam Bidang
Ilmu Hukum
Hukum dalam
lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana
hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai
bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan
tentang apa itu hukum? Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam
bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat
keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar
dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa
inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang
pertama merupakan
sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai
keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk
menciptakan ketertiban masyarakat.
Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh
Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence
secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum. Disini
dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang
kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam
ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek
penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum
bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke
mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan
yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur
kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.
Ilmu
hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan
hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi
intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin
lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang
hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai
gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum
dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern
mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang
mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga
dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi
obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian
hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law)
bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik
kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.
Perspektif
Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai karateristik
sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif
keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal
ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga
hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan
mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum
bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang
dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik
dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab
pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang
lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang
demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal demikian apa
yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Pada
perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan menjembantani antara dua
realitas tersebut.
Persoalan berikutnya
adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah
keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch
yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai
keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia
quam jus”[26]. Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik,
melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan
intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial
keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat.
Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum
tidak dapat diterima karena hal itu
menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu
pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah
preskriptif ilmu hukum.
Untuk memahami
validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia,
karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang
memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan
apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah
ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi
anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan
sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain.
Untuk mempelajari
konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam
pikiran yang dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan
hukum ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di
dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan
sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian tidak
terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang panjang.
Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau akan diikuti
oleh aturan-aturan yang menyertainya.
Mempelajari norma-norma
hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa
mempelajari norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa
mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif,
hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian
tidak ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum
adalah merupakan ilmu yang normatif.
Sifat ilmu hukum
sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu
penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat
substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai
dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal
tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang kepada
sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah
kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.
Berdasarkan sifat
keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan
Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah
rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie
(Filsafat Hukum)[27]. Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari
ketiga pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan
teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum terintegrasi
dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah terintegrasi dengan
ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari banyak hal yang bersilangan
dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu
aspek praktis dan aspek teoritis.
Hukum
Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam hal sekarang
untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu.
Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan
tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan
Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di
atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang tampaknya juga berperan dalam perkembangan
hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari
pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum
kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas.
Namun terdapat
perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana
kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam
paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di
hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama.
Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan
dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum
selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan
hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum
membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam
menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada
Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu
menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama
hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif.
Hal itu menurut Savigny tidak terjadi
dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di
dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu
secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus
diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu.
Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang
dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan
berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya
menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar
penderitaan.
Dengan demikian,
paradigma utilitarianis merupakan
paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip
utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum
adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau
bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat
yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka
isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan
kesejahteraan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Modernisasi
dalam kajian ini ditandai oleh perubahan-perubahan besar dibidang sosial,
politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut dari
konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa
ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis
faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain.
Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya menyangkut perubahan- perubahan
institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada
manusia. Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik distansi, individuasi,
progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang menandai manusia
modern.
Hukum dalam lingkup
ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal
tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari
ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa
itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa
Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru
jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata
lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris
terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan
preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan
yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan
ketertiban masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Angkasa,
Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana MIH Unsoed.
Apeldoorn, Van
’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, 1985
F.
Budi Hardiman, Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis
Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, (Kanisius: Yogyakarta, 2003) hal.
74
Chand,
Hari, modern Jurisprudence, International Law Book Services Kuala Lumpur, 1996
Gijssels,
Jan and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen,
Antwerrpen, 1982.
Hunt,
Alan, socialogical movement in law, lihat Satjipto Raharjo dalam Jurnal
Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, hal. 5.
Junaidy, Ronny K., Mahasiswa
pascasarjana MIH Unsoed sebagai penulis.
Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum,
Nusa Media, 2009 .Teori Hukum
Murni
“Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif”, Nusa Media, 2009 .
Marzuki,
Peter Mahmud, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009
Pound,
Rescoe, law finding through experience and reason, lectures, university of
georgia press, athens. 1960. Scope and Purpose of Sociological Jurisprundece,
dalam Harvard Law Review, jilid XXIV No. 8 ., lihat Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif
“Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, 2005.
Rasjidi,
Lili & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, 2007.
Komentar
Posting Komentar