Pengelolaan Lahan Kering ( berisikan permasalah-permasalahan lahan kering dan teknologi atau startegi pengelolaan lahan kering
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Lahan kering di
Indonesia yang belum diusahakan secara intensif untuk pertanian relatif cukup
luas (12,90 juta ha), yang disertai indeks pertanaman yang rendah terutama di
luar P. Jawa, menunjukkan bahwa sebagian lahan ini belum dikelola secara baik.
Kekurangan dan kelemahan pengelolaan lahan kering di Indonesia selama ini telah
mengakibatkan degradasi berbagai fungsi tanah yang berdampak semakin beratnya usaha
mensejahterakan masyarakat/bangsa. Memasuki era milenium ke 3 saat ini perlu
dirumuskan kembali paradigma dan konsepsi tentang pengelolaan sumberdaya alam
termasuk reformasi pengelolaan lahan kering. Berdasarkan pertimbangan
faktor-faktor biofisik lahan kering berpotensi sedang sampai tinggi seluas 5,09
juta ha dan berpotensi rendah seluas 7,81 juta ha, dan kendala fisik
lingkungan, untuk mendukung pemantapan swasembada pangan dapat ditempuh melalui
program jangka pendek dan jangka panjang. Program jangka pendek adalah
upaya-upaya yang terkoordinasi untuk membangun pertanian lahan kering yang
produktif dengan memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan
pengelolaan tanaman dan sumberdaya lahan secara terpadu. Program jangka panjang
adalah kelanjutan dan perluasan penerapan program jangka pendek secara
bertahap, serta beberapa upaya lain untuk meningkatkan produksi pangan melalui
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan kering, teknologi (pengendalian erosi
tanah, pengembangan kolam penampung air, penataan distribusi air, dan sistem
perbenihan) dan kelembagaan. Melalui reformasi pengelolaan lahan kering, akan
diperoleh perkiraan produksi pangan sebanyak ± 11,34 juta ton padi gogo dan
6,91 juta ton kacang-kacangan per tahun. Reformasi pengelolaan lahan kering ini
mutlak perlu dilaksanakan guna mendukung dan sekaligus memantapkan swasembada
pangan di Indonesia sehingga tidak tergantung lagi pada pasokan impor pangan
dari luar negeri.
Kebijakan sentralistik
program pembangunan pertanian pada padi sawah selama periode 1969 -1997 (Pelita
I-VI), menyebabkan usahatani lahan kering kurang mendapat perhatian. Sementara
itu, proyekproyek pembangunan pertanian lahan kering telah banyak dilaksanakan
tetapi tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, dimana penyebabnya antara
lain adalah tidak berkembangnya kemandirian masyarakat dan pembinaan yang tidak
berkesinambungan.
Hal ini menyebabkan
sistem usahatani lahan kering semakin tertinggal, terutama di Daerah Aliran
Sungai (DAS) bagian hulu. Ketimpangan pengelolaan dan penanganan permasalahan
lahan kering antara lain mencakup: 1) Input usahatani konservasi terbatas
sehingga memicu degradasi lahan dan menyebabkan produktivitas rendah, 2)
Pengelolaan lahan yang tidak dilandasi pengetahuan tentang kesesuaian dan
kemampuannya, dan 3) Pertambahan jumlah penduduk sehingga mendorong petani
untuk mengusahakan lahan kering berlereng di DAS hulu yang rentan terhadap
erosi.
1.2
Tujuan
1. Apa
Pengertian Lahan Kering ?
2. Bagaimana
Pengelolaan Lahan Kering?
3. Apa
Permasalah-permasalahan lahan kering?
4. Apa
saja Teknologi dan startegi yang digunakan dalam pengelolaan lahan kering?
1.3
Manfaat
1. Mengetahui
pengertian dari Lahan Kering
2. Mengetahui
bagaimana cara Pengelolaan Lahan Kering
3. Mengetahui
apa saja Permasalah-permasalahan yang
terdapat pada lahan kering
4. Mengetahui
apa saja Teknologi dan startegi yang digunakan dalam pengelolaan lahan kering
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lahan Kering
Istilah
lahan kering seringkali digunakan untuk padanan upland, dryland atau unirrigated
land. Kedua istilah terakhir mengisyaratkan pengunaan lahan untuk pertanian
tadah hujan. Upland menunjukkan lahan yang berada di suatu wilayah berkedudukan
lebih tinggi yang diusahakan tanpa penggenangan air seperti lahan padi sawah
(Notohadinegoro, 2000). Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah
digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun
(Adimihardja et al., 2000).
Penggunaan
lahan kering untuk pertanian di Indonesia pada umumnya dikelompokkan untuk pekarangan,
tegalan/kebun/ladang, padang rumput, perkebunan, tanaman kayukayuan, dan lahan
tidak diusahakan. Lahan kering untuk perkebunan yang belum dikelola seluas ±
12,2 juta ha, tegalan/kebun/ladang seluas ± 9,7 juta ha (Dirjen Perkebunan,
2001). Lahan kering yang belum diusahakan ternyata masih luas, yang disertai
indeks pertanaman yang rendah terutama di luar P. Jawa, menunjukkan bahwa
sebagian lahan belum dikelola secara benar.
Lahan
kering di Indonesia merupakan modal yang besar untuk dapat terlibat dalam
pengembangan dan peningkatan produksi pertanian khususnya pangan. Modal dasar
tersebut adalah keanekaragaman biologi dan sumberdaya lahan yang besar.
Keunggulan komparatif sumberdaya alamnya perlu ditingkatkan pemanfaatannya
dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengelolaan yang baik.
Lahan kering juga merupakan salah satu sumberdaya yang mempunyai potensi besar
untuk pemantapan swasembada pangan maupun untuk pembangun-an pertanian lainnya
seperti hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
2.2 Pengelolaan Lahan Kering
Pengelolaan
lahan kering perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang
jumlahnya semakin meningkat sekaligus mendukung pemantapan ketahanan pangan.
Penduduk Indonesia bertambah sekitar 1,34% pertahun (BPS, 2006), sementara di
pihak lain terdapat perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras,
terjadi peningkatan konversi lahan sawah irigasi untuk kepentingan non
pertanian, dan tingkat produktivitas padi sawah mengalami pelandaian (levelling
off).
Dalam
kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lahan
non sawah seluas 1,6 juta ha (Irawan et al., 2001). Bila diasumsikan
produktivitas lahan sawah sebesar 6,0 t/ha gabah kering panen (GKP), maka telah
terjadi kehilangan produksi sebanyak 9,6 juta ton GKP/tahun (Agus et al., 2003).
Permasalahan pengurangan produksi pangan ini perlu diatasi dengan usaha
peningkatan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan sawah baru,
dan pengelolaan serta pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan
kering yang masih cukup luas.
Pengelolaan
sumberdaya lahan kering merupakan suatu cara pengelolaan bagian lingkungan
hidup untuk mendapatkan kesejahteraan bagi manusia. Pengelolaan sumberdaya
lahan harus dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan bahwa proses
pembangunan yang sedang dan akan dilakukan di Indonesia masih tergantung pada
cara memanfaatkan potensi sumberdaya lahannya. Sumberdaya lahan kering dengan
segala anasir (component) di dalamnya termasuk tanah, batuan, lereng, air, dan
biota harus dikelola dengan baik agar mendapatkan manfaat yang optimal dan
berkesinambungan antar penggunaannya.
2.3 Permasalah-permasalahan lahan kering
Permasalahan
utama yang perlu mendapat perhatian khusus pada lahan kering adalah konservasi
lahan kering dan kendala produksi.
Konservasi
lahan kering
Multifungsi
pertanian lahan kering perlu dilihat dalam konteks dimensi yang lebih luas,
yaitu selain sebagai penyedia bahan pangan juga mempunyai jasa atau manfaat terhadap
lingkungan, baik lingkungan biofisik dan kimia maupun sosial-ekonomi (Agus et
al., 2003; Yoshida, 2001; Eom and Kang, 2001; Suh, 2001). Sebagai penghasil
pertanian, lahan kering berkontribusi dalam ketahanan pangan, penyangga
ekonomi, nilai sosial dan budaya (Irawan et al., 2004). Sebagai penyedia jasa
ekosistem/lingkungan, lahan kering berfungsi dalam pengendalian erosi, mitigasi
banjir, keanekaragaman hayati dan pendaur ulang bahan organik (Notohadinegoro,
2000; Agus et al., 2004). Tanah berkemampuan membersihkan limbah dari bahan
atau zat-zat pencemar yang dikandungnya dengan jalan menyaring, menyerap, dan
atau mengurai. Dengan demikian tanah berkesanggupan untuk bertindak sebagai
faktor sanitasi lingkungan hidup (Notohadinegoro, 2000).
Kebijakan
pembangunan lahan kering yang sebagian besar wilayahnya berlereng > 15%,
perlu mempertimbangkan multi fungsi pertanian dan lingkungan hidup.Kebijakan
pembangunan yang tidak memihak kepada pertanian akan mengganggu stabilitas
ketahanan pangan, memperburuk kualitas lingkungan, dan berdampak buruk terhadap
stabilitas ekonomi, sosial dan politik (Fagi dan Las, 2006). Untuk
keterlanjutan perikehidupan dan menjamin kesejahteraannya, manusia tidak
mungkin mengabaikan upaya mencegah degradasi berbagai fungsi tanah.
Kendala
produksi
Kendala produksi
di lahan kering adalah kondisi fisik lahan (kedalaman tanah relatif dangkal,
sebagian horizon A atau B hilang tererosi, lereng curam, kekeringan, teknologi
(penerapan teknik konservasi yang lemah), dan sosial ekonomi (ketiadaan modal
untuk menerapkan teknologi anjuran dan tiadanya subsidi dan kredit bagi petani
pelaksana teknologi konservasi). Agregat dari kendala fisik, teknologi, dan
sosial ekonomi tersebut adalah produktivitas lahan rendah. Biaya untuk
meningkatkan produktivitas lahan meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah,
dan yang dikhawatirkan adalah ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik
(Fagi dan Las, 2006). Oleh karena itu pengelolaan lahan kering yang tepat dan
mengarah pada peningkatan produksi yang berkesinambungan mutlak perlu
dilakukan. Upaya-upaya pengendalian erosi dan perbaikan produktivitas lahan
kering telah dirintis oleh instansi-instansi terkait dan perguruan tinggi, yang
walaupun bersifat parsial namun hasilnya cukup prospektif.
2.4 Teknologi dan startegi pengelolaan lahan
kering
Pemantapan
ketahanan swasembada pangan
Reformasi adalah
koreksi institusional untuk menyesuaikan format, sosok dan penampilan, serta
sistem dengan perubahan kondisi yang terjadi di dalam maupun di luar tubuh
sistem itu. Tujuan utama usaha pertanian pada saat ini adalah menyediakan
pangan yang cukup bagi penduduk. Karena keterbatasan lahan, upaya meningkatkan
produksi pertanian lebih baik dilakukan melalui peningkatan hasil panen per
satuan luas lahan. Dengan demikian pertanian pada abad ke-21, yang lebih
bersifat padat energi, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap
lingkungan. Karena kelangsungan hidup manusia bergantung pada peningkatan
produksi pertanian dan keberlanjutan lingkungan secara bersamaan, perlu dikaji
keseimbangan antara kebutuhan terhadap pengadaan barang dan jasa pertanian yang
cukup dengan kebutuhan terhadap mutu lingkungan yang baik (Notohadiprawiro,
2000; James, 1995).
Lahan
kering di Indonesia merupakan modal yang besar untuk dapat terlibat dalam
pengembangan dan peningkatan produksi pertanian khususnya pangan. Modal dasar
tersebut adalah keanekaragaman biologi dan sumberdaya lahan yang besar.
Keunggulan komparatif sumberdaya alamnya perlu ditingkatkan pemanfaatannya
dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengelolaan yang baik.
Lahan kering juga merupakan salah satu sumberdaya yang mempunyai potensi besar
untuk pemantapan swasembada pangan maupun untuk pembangun-an pertanian lainnya
seperti hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
Pemantapan
swasembada pangan
Untuk
pengembangan pertanian lahan kering, masalah teknis merupakan dasar penyusunan
program terpadu dalam kaitannya dengan pengembangan sistem pertanian yang
berkesinambungan (sustained agricultural system). Berdasarkan pertimbangan
faktor-faktor potensi lahan, kendala fisik lingkungan, keadaan sosial ekonomi
penduduk, untuk mendukung pemantapan swasembada pangan dapat ditempuh melalui
program jangka pendek, dan jangka panjang.
Pemantapan
ketahanan swasembada pangan dalam program jangka pendek adalah upaya-upaya yang
terkoordinasi untuk membangun pertanian lahan kering yang produktif dengan
memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan pengelolaan
tanaman dan sumberdaya lahan secara terpadu. Pendekatan yang dilakukan
bertujuan untuk memantapkan koordinasi dan sinkronisasi dalam upaya peningkatan
produksi pangan di tingkat nasional sampai pedesaan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
Salahsatu peluang untuk peningkatan
produksi tanaman pangan adalah memanfaatkan sumberdaya iklim terutama curah
hujan seoptimal mungkin untuk perencanaan masa tanam dan menghindari risiko
kekeringan. Pada lahan kering beriklim basah (curah hujan >2.000 mm/th)
berpeluang masa tanam selama di atas 6 bulan (terdapat di Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Kalimantan, dan Papua). Pada lahan kering beriklim kering (curah
hujan >2.000 mm/th berpeluang masa tanam selama kurang dari 6 bulan
(terdapat di Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi).
Memanfaatkan
lahan-lahan kering yang memiliki iklim tipe B dan C, yang tersedia air sekitar
5 atau 6 bulan curah hujan secara berturut-turut. Kondisi ini cukup untuk padi
gogo yang ditanam sejak awal musim penghujan yaitu pada awal bulan November
(Sumatera, Jawa, Kalimantan), dan awal Desember/Januari (Bali, NTB, NTT,
Sulawesi, dan Papua). Keadaan ini mirip dengan wilayah berpengairan setengah
teknis yang mendapat pengairan lebih lambat.
Pengaturan
pola tanam yang dianjurkan yaitu pada awal musim hujan ditanami padi gogo yang
lebih banyak kebutuhan airnya, kemudian diikuti oleh tanaman palawija yang
lebih tahan kering. Pada pelaksanaannya setiap musim tanam dapat dilakukan
dengan sistem tumpang sari (padi gogo + jagung) - kacang-kacangan.
Program
jangka panjang merupakan kelanjutan dan perluasan penerapan program jangka
pendek secara bertahap serta beberapa upaya lain untuk meningkatkan produksi
dalam memantapkan swasembada pangan. Pemantapan ketahanan swasembada pangan
jangka panjang adalah upaya-upaya peningkatan produksi pangan disertai
penyediaan input sarana dan prasarana peningkatan produksi pangan melalui
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan kering, teknologi, dan kelembagaan.
Pengendalian
erosi tanah
Meskipun dari
segi luas areal kegiatan pertanian di Indonesia lebih banyak dilakukan di lahan
kering, cara mengusahakan lahan kering tersebut relatif belum dikuasai
dibandingkan dengan cara petani mengusahakan lahan sawah, antara lain
disebabkan karena keragaman biofisik tanah, rawan kerusakan oleh erosi air,
tanah relatif sulit diolah dibandingkan tanah sawah, dan ketersediaan air
terbatas. Pada umumnya pengelolaan lahan kering yang dilakukan petani belum
sepenuhnya mengikuti kaidah-kaidah konservasi. Petani sebenarnya telah mengerti
tentang teknologi, namun tingkat adopsinya masih relatif rendah. Meskipun
sebagian lahan kering yang dikelola petani tanahnya telah dibuat teras, namun
kondisi terasnya masih rawan erosi dan longsor. Tampingan teras umumnya dibuat
tegak, tidak ada tanaman penguat teras dan saluran pembuangan air belum dibuat.
Bentuk kerusakan lahan kering karena erosi nampak umum terjadi berupa erosi
permukaan, erosi alur bahkan erosi parit.
Di
lahan kering, dengan curah hujan yang tinggi dalam waktu yang singkat pada
lereng > 15%, jika pengelolaan lahannya tanpa dipandu dengan teknik
konservasi yang baik, dikhawatirkan kondisi lahan ini semakin rusak. Oleh
karena itu penerapan teknik konservasi tanah adalah penting untuk mengendalikan
erosi tanah.
Sasaran
konservasi tanah di lahan kering adalah meliputi keseluruhan optimalisasi
sumberdaya lahan, yang merangkum kelestarian produktivitas lahan dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mendukung keseimbangan ekosistem.
Teknik konservasi tanah yang efektif (teras gulud, budidaya lorong, mulsa,
strip rumput) perlu dikembangkan guna pengendalian erosi tanah.
Introduksi
teknologi
Ekstensifikasi
dan intensifikasi pertanaman tanaman semusim di lahan kering perlu dilakukan.
Dalam pemanfaatan lahan-lahan kering harus dikembangkan teknologi yang ramah
lingkungan, dengan memperhatikan aspek konservasi tanah dan air untuk menjaga
kelestarian sistem produksi.
Di
lahan kering beriklim basah secara umum memiliki karakteristik kesuburan tanah
relatif rendah, pH rendah, dan keracunan Al, sedangkan di lahan kering beriklim
kering lahannya relatif subur namun kahat hara S, hara mikro dan kurang air.
Selain itu masalah hama (lalat bibit, belalang, walang-sangit, dan orongorong)
harus diwaspadai. Kendala hama tersebut menyebabkan hasil tanaman padi gogo
hanya 1,5 t GKG/ha.
Memperluas penggunaan
varietas berpotensi hasil tinggi dengan pengendalian hama wereng coklat dan
penggerak batang serta pemantauan dan pengendalian hama/penyakit lainnya
melalui pendekatan PHT, peluang peningkatan produktivitas tanaman pangan cukup
besar.
Pengembangan
kolam penampung air
Pengembangan
kolam penampung air hujan berupa embung (small farm reservoir) lebih menjamin
ketersediaan air bagi padi gogo pada musim hujan dan tanaman palawija (kedelai,
jagung, sayuran dan sebagainya) pada musim kemarau. Dengan demikian intensitas
tanam meningkat dengan pola tanam padi gogopalawija-palawija.
Penataan
distribusi air
Penataan
distribusi air dari kolam penampung air adalah sangat penting agar pola tanam
padi-palawija-palawija dapat lebih berkembang. Penerapan teknologi hemat air
dapat dikembangkan di lahan kering. Dampak konservasi air dapat bermanfaat
antara lain terhadap tanaman tahunan, tambahan pendapatan, kontribusi lengas
tanah dan dampak pengembangannya.
Sistem
perbenihan
Penggunaan benih
varietas unggul merupakan salahsatu penentu dalam budidaya tanaman. Benih
berperan dalam pembangunan pertanian. Melalui penggunaan benih varietas unggul,
teknik budidaya yang sesuai dengan varietas unggul tersebut akan dapat mampu
meningkatkan produksi tanaman pangan.
Perkiraan
produksi pangan
Perbaikan aspek
agronomis (pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan
perbaikan cara panen dan pasca panen) dan mengawalkan masa tanam
(November/Desember) bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Produksi
padi gogo dan kacang-kacangan di lahan kering secara budidaya petani pada
umumnya masih rendah yaitu rata-rata 0,8-1,0 t/ha dan 0,5-0,6 t/ha, sedangkan
dengan pemupukan dan pemeliharaan yang baik hasilnya dapat meningkat yaitu
rata-rata 2,56 t/ha dan 0,9 t/ha (BPS, 2006). Hasil kajian pengembangan inovasi
teknologi usahatani padi gogo dalam rangka pemanfaatan lahan sekitar hutan di
Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menunjukkan peningkatan produksi yaitu 3,30 t/ha
GKG (Toha, 2008). Penggunaan varietas unggul berumur genjah akan lebih menjamin
kepastian hasil.
Jika dilakukan
pertanaman menurut cara budidaya petani dengan produksi padi gogo 1,0 t/ha dan
kacang-kacangan 0,6 t/ha pada areal lahan kering berpotensi sedang sampai
tinggi, yang luasnya sekitar 5,09 juta ha, maka akan tersedia tambahan produksi
gabah sebanyak ± 5,09 juta ton dan kacang-kacangan ± 3,05 juta ton pada bulan
Maret/April.
Melalui perluasan
penanaman padi gogo di daerah beriklim tipe B dan C pada lahan kering
berpotensi rendah, dapat dilakukan pada areal seluas 7,81 juta ha. Jika dapat
dilaksanakan penanaman menurut cara budidaya petani dengan produksi padi gogo
0,8 t/ha dan kacangkacangan 0,5 t/ha di areal tersebut maka tambahan produksi
gabah sebesar ± 6,25 juta ton dan ± 3,91 juta ton kacang-kacangan akan
diperoleh tiap tahunnya. Apabila produksi padi gogo digabungkan dapat mencapai
11,34 juta ton sedangkan produksi kacang-kacangan mencapai 6,96 juta ton tiap
tahunnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanah-tanah di
lahan kering tersedia cukup luas dan berkendala ganda berkenan dengan segala
sifatnya, yaitu fisik, kimia dan morfologi. Reformasi pengelolaan lahan kering
dapat meningkatkan harkat tanah ini dari tingkat marginal menjadi
berproduktivitas memadai secara berkelanjutan. Untuk mewujudkannya diperlukan
implementasi kebijakan normatif seperti yang termaktub dalam Undang Undang
Dasar dan teknologi serbacakup (comprehensive) yang didukung kebijakan mikro
(program jangka pendek) dan kebijakan makro (program jangka panjang).
Reformasi pengelolaan
lahan kering guna mendukung pemantapan swasembada pangan di Indonesia dapat
diupayakan melalui program jangka pendek dan jangka panjang pada lahan kering
berpotensi rendah sampai tinggi (seluas 12,90 juta ha) yang dibarengi dengan
penerapan teknologi usahatani konservasi. Dengan teknik perbaikan agronomis
diperkirakan dapat memproduksi gabah lebih dari 11,34 juta t/tahun dan
kacang-kacangan lebih dari 6,96 juta t/tahun dapat memberikan dampak yang nyata
terhadap pemantapan swasembada pangan.
Reformasi pengelolaan
lahan kering di Indonesia merupakan perbaikan konstitusional dan modal dasar
yang besar guna pengembangan dan peningkatan produksi pertanian khususnya
pangan. Keunggulan komparatif sumberdaya lahan dapat ditingkatkan
pemanfaatannya dengan pengelolaan yang baik menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi budidaya serta implementasi kebijakan yang dapat memacu produksi
pangan. Reformasi bagi perumusan kebijakan pengelolaan lahan kering sangat
penting, sehingga perlu diletakkan pada konteks multidimensi, dan konsistensi
dalam penjabaran kebijakan strategis menuju kebijakan operasional. Secara
hirarkis harus ada keterkaitan yang konsisten antara kebijakan makro dan
kebijakan mikro yang terwujud dalam substansi kebijakan pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Adimihardja,
A., L.I. Amin, F. Agus, dan Djaenudin. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm 19.
Agus,
F., R.L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala’ohu, Wahyunto, S. Sutono, A. Setiyanto,
H. Mayrowani, A.R. Nurmanaf, and K. Kundarto. 2003. Assessment of environmental
multifunctions of paddy farming in Citarum River Basin, West Java, Indonesia.
Hlm 1-28. Dalam U. Kurnia et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Badan
Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik.
Jakarta, Indonesia. Hlm 592.
Dirjen
Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan. Ditjen Perkebunan. Jakarta.
Eom,
K.C. and K.K. Kang. 2001. Assessment of environmental multifunction of rice
paddy and upland farming in the Republic of Korea. Pp. 37-48. In International
Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS,
Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).
Fagi,
A.M. dan I. Las. 2006. Konsepsi pengendalian pencemaran lingkungan secara
terpadu berbasis DAS. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengendalian
Pencemaran Lingkungan Pertanian melalui Pendekatan Pengelolaan DAS Secara
Terpadu. Kerjasama Lolingtan-UNS-HITI, Surakarta 28 Maret 2006. Hlm 14.
Irawan,
B., S. Friyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rohman, dan B.
Wiryana. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konversi Lahan Pertanian. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
James,
B.R. 1995. Conception of An Idea: An International Center for Soil and Society.
Bulletin ISSS (89):65-67.
Notohadinegoro,
T. 2000. Diagnostik Fisik Kimia dan Hayati Kerusakan Lahan. Makalah pada
Seminar Pengusutan Kriteria Kerusakan Tanah/Lahan, Asmendep I LH/Bapedal. 1-3
Juli 1999. Yogyakarta. Hlm. 54-61.
Suh,
D.K. 2001. Social and economic valuation of the multifunctionality roles of
paddy farming. Pp.151-168. In International Seminar on Multi-Functionality of
Agriculture. 17-19 October 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary
Edition).
Toha,
H.M. 2008. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BH. Hlm 295- 323. Dalam
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BH. BBPPTP. Badan Litbang
Pertanian.
Yoshida,
K. 2001. An Economic Valuation of the Multifunctional Roles of Agriculture and Rural
Areas in Japan. Technical Bulletin 154. August 2001. FFTC. Taiwan.
Komentar
Posting Komentar